JAKARTA, MEDIA FORWARD NEWS – Sidang kasus penipuan dan penggelapan dengan terdakwa Tedja Widjaja menarik perhatian publik untuk dikuti jalannya persidangan yang digelar terbuka untuk umum di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Rabu (13/3/2019).
Pasalnya dalam persidangan itu, terutama Ketua Majelis Hakim Tugiyanto yang memberikan pertanyaan-pertanyaan terhadap saksi Darmawan dan Komalasari Witjaksono, nyaris sepenuhnya soal pembangunan gedung kampus yang nihil kaitan tindak pidana penipuan dan penggelapan yang dipersalahkan JPU Fedrik Adhar terhadap Tedja Widjaja.
Bahkan adakalanya Ketua Majelis Hakim Tugiyanto menginterupsi atau memotong pertanyaan yang diajukan JPU Fedrik, pada hal pertanyaan itu dalam rangka pembuktian dakwaannya. Manakala hal itu terjadi, maka Tugiyanto kemudian berkata “Jangan saya disebut mengarahkan ke pembangunan gedung kampus, tetapi memang ada kan bangunan lantai delapan itu dan dipergunakan pula sampai saat ini,” ujar Tugiyanto.
Saksi Darmawan dan Komalasari sesungguhnya mengakui terus terang tidak melihat dan mengetahui adanya berita acara penyerahan gedung kampus Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 (UTA 45). Bahkan perizinannya pun, misalnya IMB, tidak diketahui apakah ada atau tidak oleh saksi Darmawan. “Saya hanya tahu penyerahan lift saja,” kata Darmawan menjawab pertanyaan JPU Fedrik sejauh mana dirinya mengetahui secara detil tahapan pembangunan kampus UTA 45 yang diakuinya diawasinya pelaksanaannya secara keseluruhan.
Mendengar jawaban terus terang saksi Darmawan itu, Ketua Majelis Hakim Tugiyanto justru buru-buru mengajukan pertanyaan lagi yang mementahkan pertanyaan JPU. “Saksi tahu kan pembangunan kampus itu tuntas dilaksanakan. Saksi juga tahu kan gedung itu dipergunakan sebagai tempat kuliah para mahasiswa. Kalau tahu, itu saja cukup, berarti ada pembangunan gedung kampus yang dibiayai PT Graha Mahardika (GM),” ujar Tugiyanto.
Selain itu, Ketua Majelis Hakim Tugiyanto juga tampak berdiskusi dengan salah satu anggotanya saat JPU Fedrik mengajukan pertanyaan kepada saksi. Agaknya hasil diskusi itu pula yang diajukan mementahkan pertanyaan JPU Fedrik yang mengarah ke pembuktian surat dakwaannya terhadap Tedja Widjaja.
Saksi Darmawan sendiri yang mengaku sebagai pengawas pelaksanaan pembangunan gedung kampus UTA dari awal sampai rampung, tidak bisa menunjukkan surat tugasnya. “Saya mendapat tugas secara lisan saja,” ujarnya.
Ketika ditanya Fedrik apakah dia tahu gedung yang akan dibangun itu terlebih dulu dilengkapi perizinan sebelum dilakukan pembangunan, saksi dari terdakwa itu mengaku tidak tahu menahu sama sekali.
Saksi Kumalasari yang ditanya JPU Fedrik apakah akta yang diduga palsu sempat dipergunakan sebelum akhirnya diratifikasi, saksi yang juga dari terdakwa tersebut mengaku tidak tahu menahu pula. “Saya mengaku salah, tidak dicek dulu akta itu,” ujar saksi.
Saksi yang mengaku mewakili kepentingan Hindarto sebagai pemegang saham PT GM ikut serta membuat akta yang melibatkan saksi korban Rudyono Darsono. Padahal, Rudyono Darsono yang saat ini menjadi Ketua Dewan Pembina Yayasan UTA 45 tidak hadir dalam kesempatan tersebut.
Melihat jalannya persidangan kasus pidana rasa perdata tersebut, usai persidangan, seorang wartawan mencegat dan mewawancarai Ketua Majelis Hakim Tugiyanto, “Ketua majelis hakim tampak mendominasi pertanyaan ke saksi, sudah begitu ada kesan mengarahkan saksi hingga kasus ini menjadi perdata ?,” tanya wartawan itu. Tugiyanto sempat berkelit dengan mengatakan bahwa, “tidak usah diwawancarai, diliput saja, karena sidangnya sudah terbuka untuk umum, ” jawab Tugiyanto.
“Tetapi dalam persidangan ini ketua majelis hakim terkesan tidak netral, tidak berada di tengah-tengah antara JPU dengan terdakwa/pembela. Pertanyaan-pertanyaan ketua majelis hakim cenderung mewakili kepentingan terdakwa, bagaimana itu Pak Hakim ? ” tanya para wartawan lagi. Dengan sedikit emosi Tugiyanto berkata: “Saya tidak ke mana-mana, netral saja, memang ada pembangunan gedung kampus, itu kan dibiayai dari hasil penjualan tanah,” ujarnya.
Sementara Terdakwa Tedja Widjaja dipersalahkan JPU Fedrik Adhar karena telah melakukan penipuan dan penggelapan atas penjualan sebagian tanah lokasi kampus UTA 45 yang mengakibatkan, Yayasan UTA 45 mengalami kerugian sedikitnya Rp.67 miliar. (Dewi/Tuhari)